Kamis, 05 November 2015

AYAH PENGEMBARA bag. 3

BERJ-UANG (seri tulisan AYAH PENGEMBARA bag. 3)

by : bendri jaisyurrahman (twitter : @ajobendri)

Ada satu pertanyaan dalam benak anak yang ingin diajukan kepada sang ayah pengembara : “Apa yang sebenarnya dikerjakan ayah di luar sana hingga menyebabkan jarang pulang?” Tentu ayah jangan keburu sensi atas pertanyaan ini lantas buru-buru menjawab ”Kamu mau tau aja apa mau tau bingits? Ayah di luar sibuk kerja keleeeuuss. Plis deh ah”. Jreng jreng. Ini mah bukan jawaban ayah pengembara. Ini komen Alay penggembira yang biasa kita saksikan setiap pagi di tayangan musik stasiun TV swasta. Ye ye ye..la la la.

Mengapa anak bertanya hal demikian? Mereka hanya ingin tahu seberapa worth it aktivitas ayah di luar hingga harus meninggalkan mereka. Naluri kecemburuan mendasari pertanyaan ini. Sebab hakikatnya setiap anak ingin senantiasa diperlakukan istimewa dan spesial meskipun gak harus pakai telor dan karetnya dua. Apa sih? Emangnya nasi goreng? Hehe. Mereka senantiasa menginginkan hanya diri merekalah yang jadi prioritas dari lelaki yang mereka sebut dengan ayah. Itulah kenapa rasa ingin tahu mereka akan aktivitas ayah di luar terasa amat penting. Untuk membandingkan apakah tak hadirnya ayah di rumah benar-benar memiliki nilai.

Karena itu, aktivitas ayah pengembara amat mempengaruhi persepsi anak. Jika anak mengetahui ayah di luar sekedar hura-hura, berburu kesenangan demi kepuasan diri semata, semakin anak merasa tak berharga. Ayah akan dipersepsikan sebagai sosok yang cuek, egois dan tak peduli keluarga. Namun jika ayah yang tak pulang-pulang ini terdengar kabar sebagai pejuang dalam bidangnya masing-masing, bahkan namanya masyhur dibicarakan berbagai kalangan akan kegigihan dan usahanya, dibarengi dengan berderetnya penghargaan akan prestasi ayah, inilah ayah yang mengagumkan. Ayah telah membuat bangga akan dirinya. Mengharumkan nama keluarga. Hingga tanpa sungkan ia sebut dan  pamerkan aktivitas sang ayah di hadapan kawan-kawannya.

Belajarlah dari sosok ayah bernama Farukh. Seorang da’i sekaligus mujahid di masa tabi’in. Tuntutan iman dan kerinduannya untuk mati syahid ‘memaksa’ ia harus tinggalkan anak yang masih dalam kandungan istrinya. Tak tanggung-tanggung. Ia tinggalkan rumah hingga hampir 30 tahun lamanya. Itu artinya selama 30 kali lebaran ia gak pulang-pulang. Ini lebih dahsyat daripada bang thoyyib yang baru 3 kali lebaran gak pulang. Jadi buat pemerhati bang thoyyib harap sabar menanti kedatangannya.

Sang anak pun tumbuh dan besar tanpa sosok ayah. Masa kecil dan remaja dilalui hanya lewat sentuhan ibu. Namun ketidakhadiran ayah di sisi ia maklumi. Bahkan mengundang puji. Seiring dengan kabar beredar bahwa sang ayah adalah mujahid yang luar biasa, pejuang tangguh dan pembela agama nomor wahid di zamannya. Jadilah sang anak berupaya mengikuti jejak ayah. Berjuang dengan cara yang beda tanpa perlu angkat senjata. Ia dikenal sebagai pendidik umat lewat ilmunya yang menderas. Dialah Rabi’ah Ar Ra’yi. Guru dari Imam Malik, Sufyan Tsauri dan ulama besar lainnya. Sosok ayah yang bertahun-tahun tak hadir menjadi inspirasi bagi sang anak meski tak pernah bersua. Sebab ia tahu, ayah meninggalkan rumah bukan sekedar mencari UANG tapi lebih luhur dari itu yakni berjUANG.

Disinilah kata kuncinya. Ayah pengembara punya misi besar yakni untuk berjUANG. Ada kata “berj” yang disandingkan dengan kata “uang”. Kalau mau dicari-cari maknanya, meskipun terkesan maksa, kurang lebih begini : “Berj” ini mirip bunyinya dengan “Burj”. Artinya menara yang tinggi. Digandengkan dengan kata “uang”. Kesimpulannya, kalau ayah mau dapat uang harus bekerja di menara yang tinggi ya? Hellow...kamu bukan herp atau cak lontong kan? Ini serius nih. Saya lagi mau berfilosofi. Maksudnya begini, seorang Ayah seharusnya selain bertanggung jawab mencari uang juga dituntut untuk mengukir nama sekaligus prestasi yang menjulang tinggi bagai menara. Semakin tinggi prestasi yang dibuat sekaligus nama baik yang diukir, makin membuat anak kagum dan bangga. Inilah kompensasi yang adil dan setara atas ketidakhadiran ayah di sisi anak khususnya dalam rentang waktu yang lama.

Jangan sampai justru kabar yang sampai ke telinga anak adalah tentang ‘kenakalan” ayah di luar. Ayah terkenal sebagai pribadi yang suka berbohong, korupsi, main perempuan, menipu banyak orang, menyakiti kawan dan dibenci rekan sekerja karena sikapnya yang menyebalkan. Ditambah dengan tak ada satupun prestasi yang diukir ayah dalam bidangnya. Bahkan sering gagal dalam tugas. Ini ayah pecundang. The loser. Hal tersebut menjadikan anak layaknya peserta MOS. Tercoreng-moreng wajahnya dengan arang seraya memakai topi yang terbuat dari panci. Digantungi karton bertuliskan “aku anak idiot” dengan tali rafia berumbai-rumbai. Dengan kata lain, perilaku ayah di luar tersebut hanya membuat anak super duper malu. Dan inilah yang membuat rasa respect kepada sosok ayah menjadi sirna.

Agar anak senantiasa menjadikan ayah sebagai figur utama, maka ukirlah prestasi dengan cara terhormat dalam bidang yang ayah geluti. Tunjukkan bahwa ayah selagi di luar bukan cuma untuk senang-senang namun sedang berjuang. Setiap keberhasilan dan prestasi yang ayah peroleh di luar akan tersiar ke rumah hingga menjadi pesan pengasuhan bagi anak meski bukan berasal langsung dari lisan ayah. Kalau perlu pajanglah segala foto, penghargaan dan sertifikat yang ayah miliki berikut pernak-pernik perkakas yang dipakai selama berjuang. Dari situ anak belajar akan nilai kesungguhan, kerja keras, pengorbanan dan kemanfaatan kepada sesama. Ini amat berpengaruh dalam perjalanan hidup sang anak.

Ayah pengembara punya tekad untuk menjaga nama baik keluarga selagi di luar. Hindari perilaku yang tak terhormat. Sebab jika ayah membuat malu keluarga karena sikap yang tak elok, anak akan kecewa, malu dan minder. Hati mereka menjerit seraya berkata “aku tuh gak bisa dibeginiin”. Sambil ngambil tissue basah. Plis ayah, jaga kehormatanmu dimanapun berada selain juga jaga dompetmu agar isinya selalu utuh begitu tiba di rumah. Anak pun menyambut sumringah begitu ayah tiba. Mereka bersenandung gembira : akhirnya bang thoyyib pulang juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar