Jumat, 29 Januari 2016

HAMRO'UL ASAD

Pelajaran Dari Hamra’ul Asad

Banyak orang yang tahu tentang kisah Uhud. Tentang kekalahan yang dialami oleh kaum muslimin di bukit itu. Tentang darah yang mengalir dari pelipis Nabi dan remuknya geraham beliau. Ya. Tentang pasukan yang tidak taat dengan arahan komandan mereka di medan perang. Dan tentang sahabat-sahabat mulia yang berguguran menjadi syuhada, diimami oleh paman Nabi tercinta, Hamzah bin Abdul Muththalib.

Lanjutan kisah Uhud yang legendaris itu. Satu babak baru dari kehidupan heroik sang Nabi beserta para sahabatnya yang mulia. Hari yang disebut oleh Allah SWT di dalam al-Qur’an dengan kisah orang-orang yang tiada peduli dengan perih luka mereka saat panggilan Allah dan RasulNya datang (3:172). Itulah perang Hamra’ul Asad. Episode baru, sehari setelah kekalahan uhud yang banyak orang tidak tahu.

Setelah hari Uhud berlalu, dengan segala kepiluan dan luka, di mana di medan itu terbunuh tujuh puluh sahabat Nabi yang mulia. Kaum Musyrikin merasa mereka telah meluluhlantakkan pondasi-pondasi kekuatan kaum muslimin. Di saat itu Nabi saw merasa sangat khawatir kaum musyrikin akan memanfaatkan kesempatan ini untuk menggempur Madinah yang di sana ada anak-anak, kaum wanita dan harta benda mereka.

Setelah menunaikan shalat shubuh bersama para sahabat, Nabi saw memerintahkan Bilal untuk mengumumkan kepada para sahabat yang kemarin ikut berperang untuk mengejar kaum musyrikin. Untuk aksi ini, yang boleh ikut serta hanya mereka yang kemarin bergabung bersama pasukan Uhud, kata sang Nabi. Anda bisa membayangkan betapa beratnya tugas ini. Mereka baru melepas penat, darah masih basah dan perih itu masih terasa lekat di tubuh mereka, tiba-tiba mereka mendapat perintah untuk angkat senjata kembali. Allahu Akbar..

Saat mendengar perintah Nabi saw yang dikumandang Bilal itu, Sa’ad bin Muadz segera beranjak menuju kaumnya untuk memberitahu mereka agar memakai kembali pakaian perang. Sa’ad berkata, “Aku menyaksikan darah di tubuh mereka masih merah. Mayoritas Bani Asyhal terluka, bahkan semuanya.” Ketika itu juga, Usaid bin Hudhair yang sedang didera tujuh luka bangkit dan berkata, “Aku menyambut seruan Allah dan RasulNya” lalu ia ambil senjatanya tanpa peduli dengan perih luka yang ia derita. Sa’ad bin Ubadah juga segera mendatangi kaumnya, dan  mereka pun menyambut dengan sigap. Demikian juga Abu Ubadah, datang kepada kaumnya yang sedang mengobati luka-luka mereka, dan mereka pun bersegera menyambut panggilan Allah dan rasulNya tanpa peduli luka-luka yang menganga itu.

Salah seorang perawi kisah ini menyebutkan, dari Bani Salimah keluar empat puluh orang yang sedang mengalami cedera berat, ada Thufail bin Nu’man yang membawa tiga belas lukanya, ada Bakhrasy bin ash-Shamah dengan derita sepuluh luka, Ka’b bin Malik mengalami belasan luka, begitu juga Quthbah bin Amir ada sembilan luka. Mereka berkumpul bershaf menghadap Nabi saw di Bi’r Abi ‘Anabah di puncak Tsaniyah, lengkap dengan pedang dan semangat mereka yang membara. Ketika melihat kondisi mereka, dengan darah yang masih basah dan luka yang masih merah, sang Nabi bersabda dengan penuh rasa, “Ya Allah, sayangilah Bani Salimah.”

Saat menyampaikan doa Nabi di atas, Khatib terhenti. Tak kuat beliau membendung isak tangis. Demikian juga sesiapa yang mengerti betapa manusia-manusia mulia itu sangat sigap dengan panggilan Allah dan rasulNya akan terisak. Ya Allah.. sayangilah kami dan sebagaimana Engkau menyayangi sahabat nabiMu.

Al-Waqidi juga menceritakan tentang manusia-manusia hebat itu. Mereka adalah dua bersaudara Abdullah bin Sahl dan Rafi’ bin Sahl bin Abdul Asyhal. Keduanya pulang dari Uhud dengan luka serius. Namun, ketika besoknya mereka mendengar kabar jihad dikumandangkan kembali, berkata salah seorang di antara keduanya kepada yang lain, “Demi Allah, jika kita tidak ikut berperang bersama Rasulullah sungguh kita sangat merugi. Namun apa daya kita tidak punya tunggangan, lalu bagamana ini?” saudaranya berkata “Mari kita berangkat” yang lain menjawab, “Demi Allah, Aku tidak dapat berjalan dengan baik.” Saudaranya berkata, “Baiklah, kita berjalan pelan-pelan” maka mereka berdua berjalan tertatih-tatih. Ketika Rafi’ merasa tidak kuat, saudaranya menggendongnya. Dan ketika Abdullah merasakan payah, maka giliran Rafi’ yang menggendong, hingga mereka sampai di camp Nabi di waktu isya. Ketika melihat dua sahabatnya ini, beliaupun mendoakan kebaikan bagi mereka. subhanallah...

Nabi keluar bersama mereka dalam kondisi masih cedera berat, tubuh beliau terluka, kening beliau masih bersimbah luka dan geraham beliau hancur. Beliau dan para sahabat membuat camp di daerah Hamra’ul Asad dengan perbekalan yang seadanya. Namun demikian, semangat yang terpancar dari aura sang Nabi dapat ditangkap jelas oleh para sahabat bahwa itu pertanda kemenangan yang semakin dekat. Di suatu kesempatan beliau bertutur kepada Thalhah, “Wahai Thalhah, sunggu mereka tidak akan mampu menaklukkan kita seperti kemarin sampai Allah mengizinkan kita menaklukkan Mekah kelak.”

Hamra’ul Asad adalah saksi sejarah tentang keahlian Nabi saw dalam merancang strategi perang. Siang hari, beliau perintahkan para sahabat untuk mengumpulkan kayu bakar. Kemudia pada malam hari, setiap prajurit harus membuat api unggun. Maka pada malam itu, terjadilah parade api unggun yang jumlahnya sampai lima ratus api unggun. Kepulan asap dan nyala api yang dahsyat ini yang dikirim oleh Allah sehingga menggentarkan kaum musyrikin yang sejak kemarin masih beristirahat di daerah Rauha’. Menyaksikan kobaran api itu, kaum musyrikin yang sama sekali tidak pernah berpikir akan dikejar dan dalam kondisi sangat tidak siap, akhirnya melarikan diri ke Mekkah.

Hamra’ul Asad, kisah keberanian dan keteguhan. Hamra’ul Asad adalah cerita tentang pengorbanan dan kesigapan. Hamra’ul Asad adalah riwayat tentang strategi dan ketawakkalan. Hamra’ul asad, di sana ada manusia-manusia mulia yang jauh lebih mencintai Akhirat dibanding dunia yang fana. SEKIAN
   
Mekkah, 19 Rabi’u tsani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar