Alhamdulillahil kariimi rohman,
kholaqol insaan, 'allamahul bayaan
Wa asyhadu anlaa ilaha illallohu wahdahu laa syarikalahu,
Wa asyhadu anna muhammadan abduhu wa rosuuluhu
da'aa ila thooatillah wa hadzdzaro minal ishyaan
Allohumma sholli wa sallim 'alaihi wa 'ala aalihi
wa ashhaabihi awalil najaabah, wal hudaa, wal iimaan
Tsumma amma ba'du ayyuhal mu'minuun, 'ibaadalloh
Ittaqulloha ta'ala, fa inna manitaqolloha wa qoohu
Wa Ar-syadahu ilaa khoirin diinihi wa dunyah
Ibadalloh, ijinkan khotib pada kesempatan ini menyampaikan tema tentang riswah dalam kaitannya dengan UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam UU tersebut dijelaskan tentang riswah, intinya tentang pengertian korupsi yang lebih luas.
Yang paling halus dari tindak pidana korupsi adalah gratifikasi atau pemberian hadiah. Ternyata gratifikasi telah ada sejak jaman kerajaan-kerajaan di Indonesia masih berjaya. I-tsing, seorang yang pernah hidup di zaman Sriwijaya, mencatat bahwa pada saat itu apabila ada seseorang yang hendak menemui raja, maka dia harus melewati pengawal-pengawal raja. Ada orang yang setelah berhasil menghadap raja, maka sebagai tanda terima kasihnya, dia menghadiahi sesuatu pada pengawal tersebut. Lama kelamaan, hal ini menjadi budaya. Setiap orang yang menghadap ke baginda raja, seolah wajib memberi hadiah, memberi gratifikasi. Bahkan lebih jauh lagi, yang tidak memberi hadiah akan mendapatkan pelayanan yang buruk, bahkan tidak dilayani. Demikianlah, gratifikasi yang tadinya hanya merupakan tanda terimakasih, budaya saling memahami, akhirnya menjadi racun bagi penerimanya, menjadi candu, menjadikan penerimanya ketagihan.
Yaa ibadalloh, ternyata gratifikasi bukan hanya pernah terjadi pada masa sriwijaya. Jauh sebelum itu, sejarah telah mencatat ada seorang utusan Rosululloh untuk menjalankan khud min amwalikum shodaqotin tuthohirukum wa tuzakihim biha, untuk memungut zakat, bukan hanya menunggu orang untuk melakukan self assesmen. Sepulang dari memungut zakat, dia serahkan hasil zakat berupa kantong besar, dan dia simpan sebuah kantong kecil. Maka Rosululloh menanyakan hal itu, dan mendapat jawaban bahwa itu adalah tanda terimakasih dari sang muzakki karena telah dibantu dalam tanda kutip untuk melaksanakan kewajibannya. Padahal tidak demikian, pemungutan zakat juga telah menjadi kewajiban dari sang amil, dan untuk itu dia telah mendapat imbalan pembagian dari sebagian zakat, sebagaimana telah ditentukan Alloh SWT. Maka benarlah yang dilakukan Rosulullloh saat itu dengan memerintahkan gratifikasi tersebut ditransfer ke rekening kas negara, diserahkan kepada baitul maal.
Yaa Ibadalloh, tingkat berikutnya adalah suap menyuap. Bila gratifikasi didasarkan pada sesuatu yang benar secara SOP, tidak ada pelanggaran peraturan, maka suap menyuap biasanya didasarkan pada sesuatu yang ditemukan oleh petugas. Ada pelanggaran yang mungkin dilakukan oleh pengguna jasa. Karena kesalahan ini ditemukan oleh petugas, maka pengguna jasa berusaha memutihkan hal itu dengan suap. Ada hitam yang akan diputihkan. Maka dalam hal ini Rosululloh tidak hanya melarang dengan larangan jangan, melainkan dengan mengancam bahwa penyuap dan yang disuap akan dillaknat Alloh. La'analloh ar rosyi wal murtasyi. Apa akibatnya bagi orang yang diaknat Alloh? Kalo seseorang dillaknat oleh manusia, maka dia bisa menghindar dari kemarahan orang itu dengan menjauhinya, dengan berpindah tempat. Tapi, bila Alloh yang melaknatnya, hendak pindah ke bumi manakah dia? Maka dia akan menderita seumur hidup. Bahkan bukan hanya seumur hidup, saat di alam kubur, di hari kebangkitan dan seterusnya, dia akan menyesal. Kecuali orang yang bertaubat.
Yaa Ibadalloh, ada pula kasus korupsi yang awal terjadinya justru atas inisiatif pejabat. Entah pejabat tersebut melihat ada kesalahan yang bisa diputihkan, atau hanya mencari cari kesalahan yang sepele, atau bahkan tidak ada kesalahan sama sekali. Inilah yang disebut dengan pemerasan. Pemerasan ini termasuk perbuatan yang mendholimi orang lain. Karena mendholimi orang lain, maka cara menghapus kesalahan ini tidak hanya dengan bertaubat
kepada Alloh SWT, melainkan yang melakukan kedholiman juga harus meminta keridhoan orang yang telah didholiminya. Disini sulitnya menghapus dosa pemerasan. Kadang ada rasa malu, rasa enggan, dan perasaan lainnya. Terlebih jika yang didholimi malah sudah meninggal, maka hanya yaumul hisablah yang bisa dinantikan oleh pemeras.
Aquulu hadzaal qoula wa astaghfirulloha lii wa lakum
wa lisaairil muslimiina min kulli dzanbi, fas-taghfiruhu yaghfirlakum,
innahu huwal ghofuurur rohiim
alhamdulillah hamdan katsiron thoyyiban mubaarokan fiih
kama yuhibbu robbunaa wa yardho'
Wa asyhadu anlaa ilaha illallohu wahdahu laa syarikalahu,
Wa asyhadu anna muhammadan abduhu wa rosuuluhu
Shollallohu 'alaihi wa sallam
wa 'alaa aalihi wa ash-haabihi ajma'iin
amma ba'du, ibaadalloh
Ittaqulloha ta'ala, fa inna taqwalllohi jalla
wa 'alaa khoiro zaaadin
yuballighu ilaa ridhwaanillah
Yaa ibadallah,
Dalam khotbah pertama tadi, khotib menempatkan kita semua sebagai pejabat, sebagai orang yang mempunyai kekuasaan untuk memutuskan apakah akan melakukan tindak pidana korupsi atau tidak. Sekarang, bagaimana kita sebagai masyarakat yang membutuhkan layanan pejabat, apakah kita juga sudah memperlakukan pejabat itu sebagaimana mestinya? Contoh sederhana, mohon maaf tidak bermaksud merendahkan instansi tertentu, bila kita mempunyai tetangga polisi misalnya. Apakah kita akan “minta tolong” dalam tanda petik, bila anak kita, saudara kita, atau kita sendiri misalnya, melakukan pelanggaran lalu lintas? Apakah kita akan menggunakan hubungan kita dengan seorang pejabat untuk memutihka apa yang hitam? Jawabannya terletak pada hati kita masing-masing. Rosululloh pernah memerintahkan kepada kita untuk bertanya kepada hati kita sendiri, apabila hati kita merasa tidak enak apabila perbuatan itu nanti diketahui oleh orang lain, maka hendaknya kita waspada. Jangan-jangan perbuatan kita itu tidak sesuai dengan syariah Islam. Tapi deteksi hati ini hanya berlaku pada sesuatu yang memang belum kita ketahui hukumnya dalam syariah, dan juga hanya berlaku apabila kita tidak mencederai hati kita sehingga hati kita masih sebagai hati yang hidup, bukan hati yang mati.
Yaa ibadalloh,… terakhir khotib ingin menyampaikan sebuah cerita sederhana tapi nyata dan memberikan gambaran jelas pada kita. Pada suatu ketika, ada seseorang yang ingin berkunjung, berziaroh ke makam sunan Giri. Seperti yang telah diketahui, makam sunan Giri terletak di atas bukit. Dari tempat parkir mobil, yang terlihat hanyalah anak tangga yang mengular, tidak kelihatan ujungnya. Maka didekatilah orang ini dengan tukang ojek, ditawari 2 hal. Pertama naik ojek sampai atas, dengan ongkos 20 ribu, kedua mobil dipandu melalui jalan kampung sampai atas dengan ongkos 35 ribu. Orang itu memilih naik ojek, 20 ribu. Maka diboncenglah melalui jalan kampung berliku dan naik selama 5 menit, sampailah di atas. Sampai atas, tukang ojek menawarkan untuk menunggu agar sepulangnya naik ojek lagi, namun orang tersebut menolak. Seketika, masamlah muka tukang ojek tadi sambil meninggalkan orang tersebut. Selesai ziaroh, orang tersebut pulang lewat tangga yang tadi dilihatnya dari bawah tak berujung. Ternyata, jalan lewat tanggapun hanya 5 menit. Pantaslah si tukang ojek bermuka masam karena terbuka kartunya.
Yaa ibaadalloh, masih banyak manusia se tipe tukang ojek ini yang menguasai kehidupan kita. Menipu penglihatan kita karena ketidak tahuan kita. Beralasan ini upeti untuk bapak bea cukai anu dan itu, ini sudah menjadi tradisi, apabila tidak begini maka tidak akan dilayani, dan tipuan-tipuan maut lain yang dapat memberikan persepsi berbeda kepada orang yang tidak tahu.
Semoga Alloh memberikan petunjukNya kepada kita, memberikan pengampunanNya, dan memasukkan kita ke jannahNya.
Allohumma sholli 'alaa muhammadin wa 'alaa aali muhammadin
kamaa sholaita 'allaa ibroohim wa 'alaa aali ibroohim
fil 'alamiina innaka hamiidum majiid
wa baarik 'alaa muhammadin wa 'alaa aali muhammadin
kamaa baarokta 'allaa ibroohim wa 'alaa aali ibroohim
fil 'alamiina innaka hamiidum majiid
wardhollohummaa 'an sadaatina abi bakrin, wa 'umaro, wa utsmaan, wa ali
wardhollohummaa 'anishohaabati ajmaiin
wa 'anit tabi'iina wa man tabi'ahum bi ihsani ilaa yaumid diin
wa 'anna ma'ahum bimannika wa karomika wa ihsaanika
yaa akromal akromiin
allohumma a'izzal islaama wal muslimiin
wa adzilla syirka wal musryikiin
wa dammir a'daa ad diin
wahmi hauzatad diina, yaa robbal 'alamiin
allohumma aaaminna fii authoninaa
wa ashlih a-immatanaa, wa wulaata 'umuurinaa
waj'al wilayatanaa fiiman khoofaka
wat taqooka wat taba'a ridhooka yaa robbal 'alamiin
alllohumma wafiq waliyya amrinaa lihudaaka
waj'al 'amalahu fii ridhooka
wa a-'inhu 'alaa thooatika
wa sadidhu fii aqwaalihi wa a'maalihi
yaa dzal jalaali wal ikroom
robbanaa dholamnaa anfusanaa
wa inlam taghfirlanaa wa tarhamnaa
lanakuunanna minal khoosiriin
allohummaghfirlanaa dzunuubanaa kulllahu
diqqohu wa jillahu, awalahu wa aakhirohu, sirrohu wa 'allanahu
allohummaghfirlanaa maa qoddamnaa wa maa akhkhornaa
wa maa a'lanna wa maa asrofnaa, wa maa anta a'lamu bihi minnaa
antal muqoddamu, wa antal muakhiru, laa ilaha illa anta
robbanaa atinaa fid dunya hasanah
wa fil aakhiroti hasanah, waqinaa adzaabannaar
'ibadalloh: udzkurulloha yadzkurkum
wasy-kuruuhu 'alaa ni'amihi yazidkum
waladzikrulloohi akbar
wallohu ya'lamu maa tashna'uun
aqiimish sholah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar