Kamis, 29 Oktober 2015

Racun Digital

Digital Parenting* 
(Membangun Kesadaran Bahaya Racun Peralatan Digital pada Anak)

     
Digital parenting bukan merujuk pada orang tua yang memberikan perangkat digital kepada anaknya sejak dini, tapi orang tua yang sadar tentang bahaya dan manfaat perangkat digital untuk tumbuh kembang anak. Peralatan digital yang dimaksud di sini seperti smartphone, tab, notebook dan lain-lain. Orang tua yang paham konsep digital parenting akan memperlambat pengenalan peralatan ini kepada anak-anak mereka. Memperlambat di sini dimaksudkan untuk mempersiapkan secara matang anak-anak sebelum terjun ke dalam dunia digital. Sebuah dunia yang sama sekali tidak bisa dihindari. Bila anaknya sudah terlanjur mengenal peralatan digital, maka orang tua melakukan pengendalian waktu penggunaannya. 

Banyak orang tua yang tidak sadar telah menjadi poisonous parents (orang tua beracun) dengan membiarkan anak-anak mereka ter-tuning sejak dini oleh peralatan digital. Konten-konten yang ada di dalam gadget digital seperti game, musik, film, video porno dan lain sebagainya dibiarkan secara leluasa mengisi ruang memori anak-anak mereka. Dibiarkan men-tuning kepribadian mereka. Padahal, para petinggi perusahaan-perusahaan di Silicon Valley seperti Google, Apple, Yahoo, Hewlett-Packard (HP) sampai eBay justru menyekolahkan anak mereka di Waldorf School of The Peninsula. Sekolah yang tidak menyediakan komputer untuk murid. Para genius di dunia IT ini sepertinya ingin menjauhkan digital gadget dari keseharian anak-anak mereka.  Mengapa? Apakah mereka telah paham 'bahaya' perangkat yang mereka produksi dan jual bagi tumbuh kembang anak-anak? Wallahu’alam.

Mungkin ada yang bertanya apakah sekolah tanpa komputer akan mampu menghasilkan output pendidikan yang berkualitas? Sekolah Waldorf pernah menunjukkan data yang membanggakan, “94% siswa lulusan SMA Waldorf di Amerika Serikat di antara tahun 1994 sampai 2004 berhasil masuk di berbagai jurusan di kampus-kampus bergengsi seperti Oberlin, Berkeley, dan Vassar.”

Lalu apa bahaya bagi anak-anak bila mereka terpapar secara intensif oleh peralatan digital? Ada banyak penjelasan bagaimana peralatan digital dapat 'meracuni' tumbuh kembang anak-anak. Anda bisa membaca wacana ini dari buku Educating Children in the Digital Age yang diterjemahkan oleh salah satu penerbit di Indonesia dengan judul Mendidik Anak Di Era Digital. Buku ini ditulis oleh Yee-Jin Shin, seorang psikiater dan praktisi pendidikan anak terkemuka di Korea. Perlu dicatat Korea adalah negara yang terlebih dahulu maju dalam perkembangan dunia teknologi informasi. Tentu saja akan terlebih dahulu pula merasakan problem yang diakibatkan oleh digital gadget.

Salah satu ‘racun’ dari perangkat digital adalah fenomena popcorn brain pada otak anak. Popcorn brain adalah kondisi otak anak yang terbiasa dengan layar perangkat digital dan senantiasa merespon stimulus kuat, sehingga otaknya seperti meletup-letup. Kondisi otak yang meletup-letup ini akan membuat anak selalu mencari hal-hal yang semakin brutal, impulsif, cepat dan menarik. Dampak selanjutnya membuat daya konsentrasi melemah dan daya ingat anak-anak menurun. 

Anak-anak yang kecanduan dengan renyahnya multi-media peralatan digital akan berkurang ketertarikannya pada tulisan hitam putih yang berada kaku di dalam buku. Mereka kesulitan dan kehilangan selera mencerna buku-buku yang berat. Kemampuan imajinasi mereka tidak terasah ketika membaca kalimat-kalimat yang ada di dalam buku, meskipun buku tersebut kaya akan ilustrasi dan makna. Akibatnya, anak-anak terhalang mengakses informasi yang penuh gizi. Mereka menjadi miskin informasi bermakna, tapi kaya dengan informasi remeh temeh (twaddle). 

Mungkin ada orang tua yang masih bimbang dengan penjelasan bahaya peralatan digital. Bagi mereka keahlian di bidang IT merupakan modal bersaing di dunia kerja di era informasi. Bagaimana mungkin tidak mengenalkan komputer atau mengasingkan mereka dengan peralatan digital? Katakanlah benar bahwa pendidikan diarahkan untuk mencari kerja, padahal tujuan pendidikan bukan untuk itu saja, seharusnya orang tua tidak perlu khawatir dengan kupernya anak-anak mereka dengan digital gadget. Mengapa? Komputer dan peralatan digital itu telah didesain sedemikian user friendly sehingga mudah dipelajari. Mereka mudah menguasainya pada saatnya nanti. Banyak riset yang telah dilakukan di bidang human machine interraction (HMI). Para peneliti di bidang HCI telah berjasa tidak hanya mengamati cara manusia berinteraksi dengan komputer, juga menawarkan desain teknologi yang memungkinkan manusia berinteraksi dengan komputer dengan cara mudah dan efektif. Bila Anda masih ragu, dengar saja kata eksekutif Google, perusahaan IT terkemuka di dunia,  

“Komputer itu sangat mudah. Kami di Google sengaja membuat perangkat yang ibaratnya bisa digunakan tanpa harus berpikir. Anak-anak toh tetap bisa mempelajari komputer sendiri jika usia mereka sudah dewasa.” (Alan Eagle) 

Jadi, sangat disayangkan bila orang tua harus melumpuhkan kreativitas alami anak-anak dengan membebani pikiran mereka dengan ‘racun-racun’ modern dari peralatan digital sejak dini. Semoga kita bisa men-tuning anak-anak kita dengan lebih baik dan mampu menyiapkan mereka untuk masuk ke zaman digital yang semakin menggila.

"Ajarilah anakmu dengan ilmu yang sesuai dengan zamannya, karena ia akan hidup di zaman yang berbeda dengan dirimu" (Ali bin Abi Thalib)

* Oleh Nopriadi Hermani, Ph.D @ The MODEL for Smart Parents.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar