Kamis, 17 September 2015

AMBRUKNYA AKTIVIS DAKWAH SETELAH MENIKAH

oleh : m. Sholich mubarak

Belakangan ini Nun seperti anggota grup vokal yang sedang mengambil jalur “solo karier”. Menyanyi seorang diri. Sayangnya, Nun bukan anggota grup vokal yang senang menyumbang suara sumbang. Nun hanya kader dakwah yang merasakan kesunyian membunyikan suara di barisan kerohanian Islam. Rekan-rekan dakwahnya menghilang.

Rekan pertamanya sudah menikah. Rekan keduanya sudah menikah juga dan rekan ketiganya juga. Ketiga rekan yang tergabung dalam satu departemen itu dulu adalah sosok-sosok yang aktif bergerak dalam barisan yang rapi. Aktif bervokal dalam ranah lokal. Tak pasif melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan, kemanusiaan, daurah, pantia qurban dan sebagainya. Namun semua berubah pascamenikah. Nun, yang masih melajang, melihat betapa menikah itu ruang berbenah. Juga tohok telak baginya.

Pernah kah merasakan (atau mengalami?) apa yang dirasakan Nun dan yang terjadi pada kawan-kawan perjuangannya yang mengalami keloyoan pascanikah?

Seorang kawan yang tinggal di Depok mengaku pernah mengalami fase seperti ini.

“Sekitar 6 bulan saya pernah vakum setelah menikah. Tidak muncul dalam kegiatan dakwah, banyak ditanyakan ikhwah. Setelah merasa cukup adaptasi dengan istri, saya kembali berdakwah, aktif lagi.” Ucapnya kepada penulis pada suatu malam.

Banyak yang bilang ta’aruf yang sebenarnya itu ketika setelah menikah. Awal-awal menikah juga perlu ‘adaptasi’, menikmati ‘dunia milik berdua’ dengan suami atau istri, bisa sampai enam bulan atau setahun (?).

Yang kelewatan itu jika raib dari peredaran pergerakan padahal tugas dakwah di depan mata sudah menunggu si ‘pengantin baru’ itu. Belum lagi nanti ketika terlena ketika hadirnya bayi yang menggemaskan, padahal “Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfaal: 28).

Ada itu di sebuah halaqoh (arti aslinya lingkaran, difahami sebagai pertemuan) bahasa Arab, para pesertanya yang tadinya ramai kini kosong melompong. Sebab, para pesertanya sudah menikah.

Jika masih mengenaskan, coba tengok kembali; apa tujuan menikah?

Apakah benar untuk menggenapkan setengah din?

Seharusnya setelah menikah ruhiyah itu makin gagah. Makin rajin tilawah, dakwah tak kenal kata ogah, hafalan makin nambah, tak sering bolos halaqoh.

Jika setelah menikah ruhiyah makin payah, mungkin menikah bukan lagi menggenapkan setengah agama, tapi membuat beragama jadi setengah-tengah.

Bukan alfu mabruk tapi alfu ambruk. Wallahua’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar