Sabtu, 05 September 2015

HALAL BUAT KAMI, HARAM BUAT TUAN

Adalah Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali al-Marwazi, ulama terkenal di Makkah yang menceritakan kisah ini.

Suatu ketika, setelah selesai menjalani salah satu ritual haji, ia beristirahat dan tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat yang turun dari langit.

Ia mendengar percakapan mereka.
“Berapa banyak yang datang tahun ini?” tanya malaikat kepada malaikat lainnya.
“Tujuh ratus ribu,” jawab malaikat satunya.
“Berapa banyak mereka yang ibadah hajinya diterima?”
“Tidak satupun.”

Percakapan ini membuat Abdullah gemetar. “Apa?” ia menangis dalam mimpinya. “Semua orang-orang ini telah datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasir yang luas, dan semua usaha mereka menjadi sia-sia?”

Sambil gemetar, ia melanjutkan mendengar percakapan kedua malaikat itu. “Namun ada seseorang, yang meskipun tidak datang menunaikan ibadah haji, tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni. Berkat dia seluruh haji mereka diterima oleh Allah.”

“Kok bisa”
“Itu kehendak Allah”
“Siapa orang tersebut?”
“Sa’id bin Muhafah, tukang sol sepatu di kota Damsyiq.”

Mendengar ucapan itu, ulama itu langsung terbangun. Sepulang haji, ia tidak langsung pulang ke rumah, tapi langsung menuju kota Damsyiq (Damaskus), Siria.

Sampai disana ia langsung mencari tukang sol sepatu yang disebut malaikat dalam mimpinya. Hampir semua tukang sol sepatu ditanya, apa memang ada tukang sol sepatu yang namanya Sa’id bin Muhafah.

“Ada, di tepi kota,” jawab salah seorang sol sepatu sambil menunjukkan arahnya.
Sesampai di sana ulama itu menemukan tukang sepatu yang berpakaian lusuh.

“Benarkah anda bernama Sa’id bin Muhafah?” tanya ulama itu.
“Betul, siapa tuan?”
“Aku Abdullah bin Mubarak.”
Saidpun terharu, "Bapak adalah ulama terkenal, ada apa mendatangi saya?”

Sejenak ulama itu kebingungan, dari mana ia memulai pertanyaannya, akhirnya iapun menceritakan perihal mimpinya.

“Saya ingin tahu, adakah sesuatu yang telah anda perbuat, sehingga anda berhak mendapatkan pahala haji mabrur?”
“Wah saya sendiri tidak tahu!”
“Coba ceritakan bagaimana kehidupan anda selama ini."

Maka Sa’id bin Muhafah bercerita.
“Setiap tahun, setiap musim haji, aku selalu mendengar:
Labbaika Allahumma labbaika.
Labbaika la syarika laka labbaika.
Innal hamda wanni’mata laka wal mulka.
laa syarika laka.
Ya Allah, aku datang karena panggilanMu.
Tiada sekutu bagiMu.
Segala ni’mat dan puji adalah kepunyanMu dan kekuasaanMu.
Tiada sekutu bagiMu.

Setiap kali aku mendengar itu, aku selalu menangis.
Ya allah aku rindu Mekah.
Ya Allah aku rindu melihat ka'bah.
Ijinkan aku datang...
Ijinkan aku datang ya Allah...

Oleh karena itu, sejak puluhan tahun yang lalu setiap hari saya menyisihkan uang dari hasil kerjaku sebagai tukang sol sepatu. Sedikit demi sedikit saya kumpulkan. Akhirnya pada tahun ini, saya punya 350 dirham, cukup untuk saya berhaji. Sayapun sudah siap berhaji.”

“Tapi engkau batal berangkat haji.”
“Benar.”
“Apa yang terjadi?”

“Istri saya hamil, dan sering ngidam. Waktu saya hendak berangkat saat itu dia ngidam berat.”
“Suamiku, engkau mencium bau masakan yang nikmat ini?
“Ya, sayang.”
“Cobalah kau cari, siapa yang masak sehingga baunya nikmat begini. Mintalah sedikit untukku.”

"Ustadz, sayapun mencari sumber bau masakan itu. Ternyata berasal dari gubug yang hampir runtuh. Disitu ada seorang janda dan enam anaknya.
Saya bilang padanya bahwa istri saya ingin masakan yang ia masak, meskipun sedikit.
Janda itu diam saja memandang saya, sehingga saya mengulangi perkataan saya."

Akhirnya dengan perlahan ia mengatakan “Tidak boleh tuan.”
“Dijual berapapun akan saya beli.”
“Makanan itu tidak dijual, tuan” katanya sambil berlinang mata.

Akhirnya saya tanya kenapa?
Sambil menangis, janda itu berkata “Daging ini halal untuk kami dan haram untuk tuan” katanya.

Dalam hati saya: Bagaimana ada makanan yang halal untuk dia, tetapi haram untuk saya, padahal kita sama-sama muslim? Karena itu saya mendesaknya lagi. “Kenapa?”

“Sudah beberapa hari ini kami tidak makan. Di rumah tidak ada makanan. Hari ini kami melihat keledai mati, lalu kami ambil sebagian dagingnya untuk dimasak. Bagi kami daging ini adalah halal, karena andai kami tak memakannya kami akan mati
kelaparan. Namun bagi tuan, daging ini haram."

Mendengar ucapan tersebut spontan saya menangis, lalu saya pulang.
Saya ceritakan kejadian itu pada istriku, diapun menangis, kami akhirnya memasak makanan dan mendatangi rumah janda itu.

“Ini masakan untukmu.”
Uang peruntukan haji sebesar 350 dirham pun saya berikan pada mereka.
"Pakailah uang ini untukmu sekeluarga. Gunakan untuk usaha, agar engkau tidak kelaparan lagi.”

Ya Allah……… disinilah hajiku.
Ya Allah……… disinilah Mekahku.

Mendengar cerita tersebut Abdullah bin Mubarak tak bisa menahan air mata.

[Dari kitab: Irsyadul 'Ibaad ilaa Sabiilir Rosyaad.]

Tak bosan membaca kisah ini berulang kali, untuk mengingatkan diri sendiri.
Dan selalu meneteskan air mata ketika membacanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar