Senin, 21 September 2015

Tajarrud

Makna at tajarrud


Menurut Bahasa.

Lafal “Al Juradah” artinya sesuatu yang dikelupas dari sesuatu yang lain.
Lafal “At-Tajrid” artinya melepaskan pakaian.
Lafal “At-Tajarrud” artinya bertelanjang. Sedang Lafal “Tajarrud lil Amri” artinya bersungguh-sungguh pada suatu urusan.
Menurut Syariat
Menurut Imam Hasan Al Banna : “Engkau harus tulus pada fikrahmu dan membersihkannya dari prinsip-prinsip lain serta pengaruh orang lain. Sebab ia adalah setinggi-tinggi dan selengkap-lengkap fikrah”.
Tajarrud, menurut Al-Fadhil Ustaz Fathi Yakan di dalam karangannya “Ma Za Ya’ni Intima’ Lil Islam” : “Tajarrud bermakna saudara mestilah ikhlas terhadap fikrah yang saudara dukung”.
Menurut Ust. Mahfuz Sidik : “Adalah totalitas dan kesinambungan amal jihadi yang kita lakukan sehingga Allah meringankan dakwah ini, dan hingga kita berjumpa dengan Nya kelak.
KH.Hilmy Aminudin memaknai tajarrud sebagai ketulusan pengabdian kader dakwah bukanlah meninggalkan semuanya untuk dakwah tetapi membawa semuanya demi kejayaan dakwah.
Jadi secara umum Tajarrud adalah : “ Mengkhususkan diri untuk Allah swt dan berlepas diri dari segala sesuatu selain Allah. Yakni menjadikan gerak dan diam serta yang rahasia dan yang terang-terangan untuk Allah swt semata, tidak tercampuri oleh keinginan jiwa, hawa nafsu, undang-undang, kedudukan, dan kekuasaan”.
Tajarrud berarti memfokuskan diri hanya karena Allah, meniadakan orientasi kepada siapapun dan apapun selain-Nya. Hendaknya gerak dan diam dalam sembunyi dan terang hanya dilakukan karena Allah, tidak ada intervensi nafsu, keinginan pribadi, tidak ada motivasi duniawi, kedudukan dan kekuasaan.
Hal ini tidak berarti melepaskan diri dari kehidupan dunia dan keperluannya, bahkan menjadikan dunia sebagai sarana memperoleh balasan di sisi Allah, sebagaimana hadits Rosululloh saw.,  yang artinya; ”Dan pada kemaluan salah seorang di antaramu terdapat sedekah. Para sahabat bertanya: Ya Rasulallah, seseorang menyalurkan syahwatnya dan dia mendapatkan pahala? Jawab Nabi: Bukankah jika ia menyalurkan di jalan haram mendapatkan dosa, maka demikianlah jika ia menyalurkan dengan halal maka ia mendapatkan pahala” (HR. Muslim). ”Sesungguhnya tidak satupun yang kamu infakkan karena mengharapkan Allah, pasti kamu akan mendapatkan pahala, termasuk yang kamu infakkan di mulut isterimu” (HR. Al Bukhari)


Dan Allah SWT., berfirman yang artinya:”Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya Kami berlepas diri dari pada kamu dari dari pada apa yang kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja” (QS. Al Mumtahanah: 4)


Ayat ini dapat kita pahami muatannya dari beberapa tafsir. Ibrahim as., dan pengikutnya menyatakan lepas dari kaumnya, dan di dalam kaumnya itu terdapat ayahnya, saudara-saudaranya dan keluarganya. Mereka melepaskan hubungan dan menolak agama mereka yang batil, jalan hidup mereka yang sesat, mulai dari penyemabahan berhala, meyakini adanya sekutu bagi Allah, dan sebagainya.


Nabi Ibrahim dan kaumnya menyatakan permusuhan dan kebencian dengan mereka. Nabi Ibrahim dan kaumnya menyatakan dengan bahasa yang tegas dan jelas bahwa permusuhan ini bersifat permanen, sehingga mereka mau beriman kepada Allah saja. Sikap komunitas muslim ini adalah mufashalah (pemutusan) permanen antara mereka dengan kaum kafir dan musyrik. Sikap yang menunjukkan tajarrud mereka yang total kepada Allah SWT.


Demikianlah umat ini–Nabi Ibrahim dan pengikutnya dijadikan sebagai teladan kebaikan bagi orang beriman meskipun berbeda ruang dan waktu. Mereka dapat meneladani sikap mulia ini dalam menghadapi jahiliyah di manapun dan kapan pun mereka berada. Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. (QS. Al Mumtahanah: 4)


Kemudian Allah SWT., menerangkan bahwa kelompok kecil orang beriman ketika meninggalkan kaumnya, berlepas diri dari mereka, segera mengahadapkan diri kepada Allah SWT., dengan berseru yang artinya: "Ya Tuhan Kami hanya kepada Engkaulah Kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah Kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah Kami kembali." (QS.Al Mumtahanah: 4)


Ketika hakikat cinta dan benci karena Allah sudah bersemayam dalam jiwa maka hal ini menunjukkantajarrud yang bersangkutan kepada Allah SWT. Tajarrud ini juga menunjukan keaslian agama pertama, ketika Allah mengutus rasul-Nya, menurunkan kitab suci-Nya. Itulah keikhlasan, seperti yang diterangkan oleh Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah, dalam    ungkapannya : ”Prinsip ikhlas ini adalah dasar agama, dan seberapa besar realisasinya maka itulah hakikat agama seseorang. Karenanya Allah mengutus para rasul, menurunkan kitab-kitab, karenanya pula para rasul, berdakwah, berjihad, memerintahkan, dan memotovasi, itulah pusat agama yang semua berputar di atasnya”. Ia juga mengatakan: ”Hati itu jika tidak berpihak menghadap Allah, berpaling dari selain-Nya, maka ia menjadi orang yang mensekutukan (Allah)”. Allah berfirman dalam surat  Ar-Rum : 30-32 yang artinya:”Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”, ”dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah”, ”Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”.


Oleh karena itu ketika seorang da’i menyeru (mendakwahkan) Islam kepada manusia, sudah seyogyanya ia menyeru semata-mata hanya demi Allah swt. bukan untuk kelompok, organisasi atau partai.  Ia menginginkan umat untuk membawa pemikiran dan ide-ide Islam. Kelompok adalah sarana semata dan bukan tujuan.
Terkadang ada kekeliruan persepsi mengenai makna totalitas dakwah (tajarrud) ini, dimana kader dakwah harus meninggalkan semuanya untuk dakwah. Padahal pengertian yang tepat adalah ketulusan pengabdian kader dakwah untuk membawa semuanya demi kejayaan dakwah. Misalnya ketika kemampuan dan kecenderungan seorang kader adalah analysis, synthesis, dan evaluasi bidang ekonomi, maka kader tsb tidak diminta meninggalkan itu semua dan masuk fakultas syariah sehingga bisa mengajarkan Islam. Tujuan sebenarnya adalah bagaimana caranya agar kemampuan dan kecenderungan tsb dapat dimanfaatkan se-optimal mungkin demi kejayaan dakwah.
Pada masa Rasulullah SAW, ketika sedang marak-maraknya berbagai pertempuran, banyak kader yang ingin terjun dalam jihad qital ini, termasuk Zaid bin Tsabit. Pemuda kecil ini ketika diuji kekuatan fisiknya, gagal, sehingga ia kecewa sekali. Seolah ia tidak mampu memberikan kontribusi apa-apa demi kejayaan dakwah Islam. Pada kesempatan test berikutnya, ia coba lagi. Namun gagal lagi. Pada saat kekecewaannya memuncak, Rasulullah SAW menganjurkannya untuk mempelajari bahasa. Ternyata disitulah bakatnya, disitulah competitive advantage-nya sampai ia diangkat menjadi sekretaris Rasulullah SAW. Disitulah ia menemukan jati dirinya karena bisa membawa semua kemampuannya demi kejayaan dakwah meskipun bukan melalui sisi yang populer. Dan masih banyak contoh lagi.
Allah SWT memuji kaum muhajirin dan kaum anshor dengan kalimat radhi Allahu ‘anhum wa radhu ‘anhu (Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah) Q 9:100. Inilah puncak dari segala pujian dari Sang Pencipta kepada hamba-hambanya, ketika Dia meridhai semua yang telah mereka lakukan.

Apa yang menjadikan Allah SWT ridha kepada mereka? Dalam Q 8:74 Allah menggambarkan karakteristik mereka.
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.” Beriman, berhijrah, berjihad di satu sisi dan memberi tempat kediaman dan pertolongan di sisi lainnya. Mereka menikmati perjuangan dan pengorbanan hidup demi kejayaan dakwah Islam. Totalitas dakwah – tajarrud.

Marilah kita hindari jahiliyah yang ada sekarang ini, kita lawan karena Allah. Agar kita dapat 
tajarrud  hanya kepada-Nya. Allah SWT., berfirman yang artinya: ”Karib Kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tiada bermanfaat bagimu pada hari kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS. AL Mumtahanah: 3).


Sumber:
http://masjidrayacirebon.blogspot.com/2012/06/at-tajarrud.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar